BERBAIK DIRI DALAM IMAN, ILMU, AMAL, AKHLAK

JIWA INI NYATA TELAH DIPERJUALBELIKAN UNTUK KEMENANGAN, MENUJU JANNAH YANG DINANTI

catatan manis

Kamis, 07 Oktober 2010

ಇಸ್ತ್ರಿ ಸ್ಯಹಿದ್ ಹಸನ್ ಅಲ banna

Tidak mudah menjadi istri seorang Hasan Al Banna. Seorang yang setiap detik kehidupannya sarat dengan kegiatan dakwah. Di pagi buta dia sudah bergegas untuk memulai berdakwah dan kembali pulang di gelap malam. Bisa dipastikan ia adalah seorang muslimah sejati, yang bisa mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh Imam Syahid Al Banna.

Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam Syahid Hasan al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh seoraang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah. Perjuangan Imam Syahid bukanlah suatu hal yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah seperti kebanyakan orang waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun rumah kardus. Imam Syahid tengah dan hendak membangun peradaban. Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa seseorang yang yakin kesejatiannya.

Maka siapapun itu -pendampingnya- harus menyadari bahwa dipundaknya ada amanah yang sama besarnya dengan yang diemban oleh Imam Syahid. Ada dimensi waktu dan kuasa kapital disitu. Maka pertemuan diyakini menjadi suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.

Bagi Lathifah as Suri menjadi istri Hasan Al Banna minyimpan begitu banyak geregap. Sejak awal pernikahan, Lathifah sedah menyadari bahwa ia harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani hidup sendiri tanpa seseorang, tempat berlaabuh hidup dan cintanya.

Dakwah Ikhwan yang dipimpin suaminya banyak meminta resiko yang bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekwensi logis, yang sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tau dan mengerti bagaimana ia harus menempatkan diri. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya. Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkungan rumahnya sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.

Lathifah berasal dari keluarga yang taat beragama. Tak heran jika ia menyadari betul tuntutan hidup menjadi istri seorang dai.

Malam, ia harus rela untuk bangun menyambut kepulangan suaminya. Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya untuk membuka pintu rumah sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka. Imam Syahid bahkan tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. Indah nian hidup dalam pelukan dakwah.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-hari hanya ia habiskan seputar rumah dan rumahnya saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada Imam Syahid. Padahal -berlepas diri dari ia seorang istri Imam Syahid- Lathifah menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka yang berjumlah enam orang sesungguhnya adalah pencurahan konsentrasinya menjalani hidup. satu-satunya yang membuat dirinya gamang adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan Imam syahid harus tetap menjalani jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya, "Bagaimana jika anak kita meninggal ?" Imam Syahid hanya menarik napas panjang, kemudian berujar, "Kakeknya lebih tau bagaimana mengurusnya".

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman pd anak-anaknya. Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan destrutif. Ketika Imam Syahid bolak - balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan komitmen.

Lathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang wanita sebagai istri dan ibi bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk mendidik anak-anaknya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di luar rumah. Seorang anak tak mungkin belajar tentang akhlak dan amal dari orang selain dari ibunya.

Ketika Hasan Al Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tak ada kesan ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh mendiang suaminya. Ia tetap berlaku di dalam rumah. Lathifah tidak meremehkan hudud yang Alloh tentukan. Karenanya, tak heran diantara anak-anaknya tidak ada ikhtilat antara anak-anaknya dan sepupunya yang berlainan jenis.

Tidak ada yang berubah di rumah ituApa yang Imam Syahid inginkan berlaku di keluarganya masih tetap dipegang teguh oleh Lathifah. Sendirian ia membesarkan anak-anaknya. Di rumahnya ia kini mempunyai tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan keislamannya dgn membaca al Qur'an dengan tafsirnya, mempelajari Sunah Rasululloh saw. yang dilanjutka dengan usaha kuat untuk menerapkannya. Lathifah masih menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam. Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan memunculkan persoalaan serius. Seseorang yang tidak menambah pengetahuan keIslamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan kebesaran Islam. Dengan pemahaman Islam yang baik, seorang wanita akan menyadari betapa penting perannya trhadap keluarga dan masyarakat.

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiyah. Semua itu adalah bukti, betapa berartinya sosok ibu bagi keberhasilan dakwah suami dan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar